Hukum transaksi dan spekulasi kurs mata uang


بِسْمِ اللّهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيْمِ



السَّلاَمُ عَلَيْكُمْ وَرَحْمَةُ اللهِ وَبَرَكَاتُهُ



Alhamdulillah kita tetap diberikan peluang untuk bertemu ulang melalui blog ini. Semoga post kali ini bisa berfaedah dan bisa menjawab sebagian pertanyaan yang masuk ke e mail kami. 



Sekali ulang kita ingatkan bahwa, terkecuali tetap sangsi silahkan tinggalkan usaha forex ini dan beralihlah terhadap usaha sektor riil yang tidak meragukan bagi anda semua. Segala kesempurnaan hanya milik Alloh dan terkecuali tersedia kesalahan tentulah berasal dari kami.



Allah azza wa jalla turunkan ajaran (syari'ah) Islam yang sempurna sebagai tuntunan hidup yang tetap bisa mememenuhi keperluan umat manusia sampai akhir jaman. 


Dalam usaha pun kudu sesuai bersama prinsip-prinsip basic kaidah usaha syaria'ah, kudu tetap mengacu terhadap hukum-hukum islam (harus tersedia basic hukum atau tidak melanggar larangan syariah) dan meninggalkan tingkah laku yang di haramkan syar'i merasa dari NIAT awal dan terdapatnya TUJUAN (keperluan) kala bakal bertransaksi, kudu hindari Bunga (ربا riba), Perjudian, Spekulasi yang disengaja (ميسر maysir), Ketidakjelasan, Manipulatif, Penipuan (غرر ghoror), termasuk tentang multi transaksi didalam 1 aqad, dan 2 bentuk transaksi didalam 1 aqad yang semuanya dilarang syari'ah.



Sebagaimana yang berlangsung terhadap transaksi trading instrumen derivatif di pasar sukunder terutama bersama underlying valas yang berpotensi mengebiri pertumbuhan ekonomi.


Menurut komitmen mu’amalah syari’ah, jual membeli mata duit yang disetarakan bersama emas (dinar) dan perak (dirham) haruslah ditunaikan bersama tunai/kontan (naqdan) supaya terhindar dari transaksi ribawi (riba fadhl dan riba nasiah), sebagaimana dijelaskan hadits tentang jual membeli enam macam barang yang dikategorikan berpotensi ribawi. 


Kisah berikut bisa menjadi dalil yang memperjelas maksud dari pembayaran kontan yang bertujuan oleh hadits-hadits serupa.



عَن ْابن شهاب أن مَالِكِ بْنِ أَوْسٍ أَخْبَرَهُ أَنَّهُ الْتَمَسَ صَرْفًا بِمِائَةِ دِينَارٍ ، فَدَعَانِى طَلْحَةُ بْنُ عُبَيْدِ اللَّهِ فَتَرَاوَضْنَا ، حَتَّى اصْطَرَفَ مِنِّى ، فَأَخَذَ الذَّهَبَ يُقَلِّبُهَا فِى يَدِهِ ، ثُمَّ قَالَ حَتَّى يَأْتِىَ خَازِنِى مِنَ الْغَابَةِ ، وَعُمَرُ يَسْمَعُ ذَلِكَ ، فَقَالَ وَاللَّهِ لاَ تُفَارِقُهُ حَتَّى تَأْخُذَ مِنْهُ ، قَالَ رَسُولُ اللَّهِ . صلى الله عليه وسلم . الذَّهَبُ بِالذَّهَبِ رِبًا إِلاَّ هَاءَ وَهَاءَ ، وَالْبُرُّ بِالْبُرِّ رِبًا إِلاَّ هَاءَ وَهَاءَ ، وَالشَّعِيرُ بِالشَّعِيرِ رِبًا إِلاَّ هَاءَ وَهَاءَ ، وَالتَّمْرُ بِالتَّمْرِ رِبًا إِلاَّ هَاءَ وَهَاءَ  . رواه البخاري



Ibnu Syihab mengisahkan bahwa Malik bin Aus bin Al Hadatsan menceritakan kepadanya bahwa terhadap suatu hari ia membutuhkan untuk menukarkan duit seratus dinar (emas), maka Tholhah bin Ubaidillah pun memanggilku. Selanjutnya kamipun bernegoisasi dan selanjutnya ia menyetuji untuk menggantikan uangku, dan iapun segera mengambil uangku dan bersama tangannya ia menimbang-nimbang duit dinarku. Selanjutnya Tholhah bin Ubaidillah berkata: Aku bakal memberikan duit tukarnya kala bendaharaku udah datang dari daerah Al Ghobah (satu daerah di luar Madinah sejauh + 30 KM), dan ucapannya itu didengar oleh kawan akrab Umar (bin Al Khotthob), maka iapun spontan berkata kepadaku: Janganlah engkau meninggalkannya (Tholhah bin Ubaidillah) sampai engkau benar-benar udah menerima pembayarannya. Karena Rosululloh shollallohu 'alaihi wa sallam udah bersabda: "Emas ditukar bersama emas adalah riba terkecuali jikalau ditunaikan secara ini dan ini dengan kata lain tunai, gandum ditukar bersama gandum adalah riba, terkecuali jikalau ditunaikan bersama ini dan ini dengan kata lain tunai, sya'ir (satu verietas gandum yang mutunya kurang bagus -pen) ditukar bersama sya'ir adalah riba terkecuali jikalau ditunaikan bersama ini dan ini dengan kata lain tunai, korma ditukar bersama korma adalah riba, terkecuali jikalau ditunaikan bersama ini dan ini dengan kata lain tunai." (HR Bukhori)


Pada komitmen syariah fiqh islam, perdagangan valuta asing bisa dianalogikan dan dikategorikan bersama pertukaran antara emas dan perak atau dikenal didalam terminologi fiqih bersama istilah (shorf) yang disepakati para ulama tentang keabsahannya. (Ibnul Mundzir didalam Al-Ijma’:58). 




Dalam shorf, tersedia satu ketetapan yang kudu diperhatikan yakni kudu tersedia qobdh (serah menerima secara langsung) didalam majelis akad. Sebagaimana perihal ini disebutkan didalam hadits dari ‘Ubadah bin Ash Shomit,



الذَّهَبُ بِالذَّهَبِ وَالْفِضَّةُ بِالْفِضَّةِ وَالْبُرُّ بِالْبُرِّ وَالشَّعِيرُ بِالشَّعِيرِ وَالتَّمْرُ بِالتَّمْرِ وَالْمِلْحُ بِالْمِلْحِ مِثْلاً بِمِثْلٍ سَوَاءً بِسَوَاءٍ يَدًا بِيَدٍ فَإِذَا اخْتَلَفَتْ هَذِهِ الأَصْنَافُ فَبِيعُوا كَيْفَ شِئْتُمْ إِذَا كَانَ يَدًا بِيَدٍ



“Jika emas dijual bersama emas, perak dijual bersama perak, gandum dijual bersama gandum, sya’ir (salah satu style gandum) dijual bersama sya’ir, kurma dijual bersama kurma, dan garam dijual bersama garam, maka kuantitas (takaran atau timbangan) kudu mirip dan dibayar kontan (tunai). Jika style barang tadi berbeda, maka silahkan engkau membarterkannya sesukamu, tetapi kudu ditunaikan secara kontan (tunai).” (HR. Muslim no. 1587). 



Emas dan perak para ulama menyebutnya sebagai barang ribawi bersama bersama empat barang lainnya sebagaimana disebutkan didalam hadits. Emas dan perak di sini memiliki ‘illah (sebab) yang mirip yakni sebagai tsaman (alat ganti atau mata uang).



Setiap mata duit adalah style tersendiri (berbeda). Mata duit riyal itu mata duit tersendiri. Begitu pula duit dolar adalah mata duit style tersendiri. Dan keduanya memiliki ‘illah yang mirip yakni sebagai mata duit (alat ganti didalam jual beli, disebut tsaman) supaya dihukumi mirip bersama emas dan perak. Dalam emas dan perak, tersedia dua ketetapan yang kudu diperhatikan kala berlangsung shorf (pertukaran):



1.     Jika barang sejenis ditukar –semisal emas dan emas atau perak dan perak-, tersedia dua syarat yang kudu dipenuhi: (1) kudu tunai (yadan bi yadin) dan (2) kudu perumpamaan (mitslan bi mitslin) atau jumlahnya sama.



2.     Jika barang beda style tetapi tetap satu ‘illah (sama-sama alat ganti atau mata uang), maka hanya satu syarat yang kudu dipenuhi, yakni tunai (yadan bi yadin).



Sehingga didalam penukaran mata duit terkecuali sejenis rupiah dan rupiah, kudu tunai dan jumlahnya sama. Contoh: Jika selembar duit Rp100.000,- ditukar bersama pecahan duit Rp10.000,- maka jumlahnya kudu mirip dan kudu tunai kala menukarnya. 



Namun jikalau tidak serupa jenisnya, layaknya Rupiah bersama Dolar atau sebaliknya maka bisa ditukarkan (exchange) sesuai bersama market rate (harga pasar) bersama catatan kudu kontan/spot/tunai (taqabudh fi’li) atau yang dikategorikan spot (taqabudh hukmi) menurut kelaziman pasar yang berlaku sebagaimana yang dikemukakan Ibnu Qudamah (Al-Mughni, vol 4) 


Tentang beberapa syarat ‘tunai’ atau ‘kontan’ didalam jual membeli dikembalikan kepada kelaziman pasar yang berlaku meskipun perihal itu melalui sebagian jam penyelesaian (settelment-nya) sebab proses tehnis transaksi. Harga atas pertukaran itu bisa ditentukan berdasarkan kesepakatan antara penjual dan pembeli atau harga pasar (market rate).



Jika didalam shorf di atas tidak mitslan bi mitslin (semisal) didalam penukaran mata duit sejenis, maka berlangsung riba fadhl. Jika berlangsung penundaan didalam penyerahan, bisa berlangsung riba nasi-ah.



Dalam praktiknya, untuk hindari penyimpangan syariah, maka kegiatan transaksi dan perdagangan valuta asing (valas) kudu terbebas dari unsur riba, maysir (spekulasi gambling judi) dan ghoror (ketidak jelasan, manipulasi dan penipuan). 



Oleh sebab itu jual membeli maupun usaha valas kudu ditunaikan secara kontan (spot) atau kategori kontan. Motif pertukaran itupun tidak boleh untuk spekulasi yang bisa menjurus kepada judi/gambling (maysir) melainkan untuk memebiayai transaksi-transaksi yang ditunaikan rumah tangga, perusahaan dan pemerintah manfaat mencukupi keperluan konsumsi, investasi, ekspor-impor atau komersial baik barang maupun jasa (transaction motive).



Disamping itu kudu dihindari jual-beli valas secara bersyarat dimana pihak penjual mensyaratakan kepada pembeli kudu rela menjajakan ulang kepadanya terhadap periode atau selagi tertentu sesudah transaksi, serta tidak di boleh menjajakan ulang barang yang belum diterima secara definitif (Bai’ Fudhuli) perihal itu dilarang (bahasan lengkap tentang perihal ini tersedia di materi).



Demikian halnya, dunia perbankan termasuk bank syariah sebagai lembaga keuangan yang memfasilitasi perdagangan global (ekspor-impor) maupun keperluan masyarakat terhadap penukaran valuta asing tidak bisa terhindar dari keterlibatannya di pasar valuta asing (foreign exchange). 



Hukum transaksi yang ditunaikan oleh sebagian bank syariah didalam mua’amalah jual membeli valuta asing tidak bisa dilepas dari keputusan syariah tentang shorf. 



Bentuk transaksi penukaran valuta asing yang biasa ditunaikan bank syariah bisa dikategorikan sebagai naqdan (spot) meskipun penyerahan dan penerimaan berikut tidak berlangsung terhadap selagi transaksi diputuskan (dealing), melainkan penyelesaiannya (settlement-nya) baru tuntas didalam 48 jam (dua hari) kerja. Fenomena transaksi ini udah biasa dikenal didalam dunia perdagangan internasional dan tetap disebut transaksi valas spot antar bank. 



Bahkan terkecuali kebetulan bertepatan bersama libur akhir pekan, serah menerima itu baru bisa terlaksana sesudah 96 jam kerja. (Dr. As-Saih, Ahkamul ‘Uqud wal Buyu’ fil Fiqh:112, Dr. Sami Hamud, Tathwirul A’mal Al-Mashrofiyah, 372, Qordhowi didalam Fatawa Mu’ashiroh)



Dengan demikian, hukum transaksi money exchange didalam bentuknya yang simple selama ditunaikan secara tunai atau dikategorikan tunai (spot) dan jual putus (one shot deal) serta bukan untuk target atau memfasilitasi dan mendukung kegiatan spekulasi terhadap prinsipnya diperbolehkan menurut syariah Islam berdasarkan akad shorf selama tetap hindari pantangan syariah didalam usaha disamping hindari praktik perdagangan (trading) ala konvensional yang dewasa ini biasa ditunaikan di pasar valuta asing antara lain (Lihat, International Journal of Islamic Financial Services, I:1,1999 dan Kumpulan Fatwa Dewan Syariah Nasional-MUI; 2002):



Pertama : perdagangan tanpa proses penyerahan (future non delivery trading) layaknya margin trading yakni transaksi jual-beli valas yang tidak diikuti bersama pergerakan dana bersama memanfaatkan dana (cash margin) didalam prosentase tertentu (misalnya 10% sebagai jaminan) dan yang diperhitungkan sebagai keuntungan atau kerugian adalah selisih bersih (margin) antara harga beli/jual suatu style valuta terhadap selagi tertentu bersama harga jual/beli valuta yang mengenai terhadap akhir jaman transaksi. 



Contohnya bersama margin 10% untuk transaksi US$ 1 juta, pembeli kudu menyerahkan dana US$100.000. 



Dalam perbankan Indonesia, margin trading diatur didalam keputusan BI bersama sekurang-kurangnya cash margin 10%. Dalam sehari dealer maupun bank bisa jalankan transaksi ini berulang-ulang. Adapun penyelesaian pembayaran dan perhitungan untung-ruginya ditunaikan secara netto saja. Jadi, jual membeli valas yang ditunaikan bukan untuk memilikinya, melainkan sebatas menjadikannya sebagai komoditas untuk spekulasi itu adalah transaksi ميسر maysir.



Kedua : transaksi futures yakni transaksi valas bersama perbedaan nilai antara pembelian dan penjualan future yang tertuang didalam future contracts secara simultan untuk dikirim didalam selagi yang berbeda. 



Misalnya, A dan B sebabkan kontrak terhadap 1 Januari 2016. A bakal menjajakan US$ 1 juta bersama kurs Rp 13.000 per US$ terhadap 30 Maret 2016, tidak acuhkan berapa kurs di pasar selagi itu. 



Di satu sisi transaksi ini bisa dipandang sebagai spekulasi, paling tidak tersedia unsur ميسر maysir, meskipun disisi lain para pelaku usaha terhadap sebagian masalah menggunakannya sebagai mekanisme hedging (melindungi nilai transaksi berbasis valas dari risiko gejolak kurs). 



Ulama kontemporer menampik transaksi ini sebab tidak terpenuhinya rukun jual membeli yakni tersedia duit tersedia barang (dalam perihal ini tersedia rupiah tersedia dollar). Oleh sebab itu, transaksi futures tidak bisa diakui sebagai transaksi jual beli, tetapi bisa ditransfer kepada pihak lain. 



Alasan ke dua penolakannya adalah hampir seluruh transaksi futures tidak bertujuan untuk memilikinya, hanya nettonya saja sebagaimana transaksi margin trading.



Ketiga : transaksi option (currency option) yakni perjanjian yang mengimbuhkan hak opsi (pilihan) kepada pembeli opsi untuk merealisasi kontrak jual membeli valuta asing, tidak diikuti bersama pergerakan dana dan ditunaikan terhadap atau sebelum selagi yang ditentukan didalam kontrak, bersama kurs yang berlangsung terhadap selagi realisasi tersebut. 



Misalnya, A dan B sebabkan kontrak terhadap 1 Januari 2016. A mengimbuhkan hak kepada B untuk membeli dollar AS bersama kurs Rp 13.000 per dolar terhadap tanggal atau sebelum 30 Juni 2016, tanpa B berkewajiban membelinya. A mendapat kompensasi sejumlah duit untuk hak yang diberikannya kepada B tanpa tersedia kewajiban terhadap pihak B. Transaksi ini disebut call option. Sebaliknya, jikalau A mengimbuhkan hak kepada B untuk menjualnya disebut put option. 



Ulama kontemporer menyaksikan perihal ini sebagai janji untuk jalankan suatu hal (menjual atau membeli) terhadap kurs tertentu, dan ini tidak dilarang syariah. 



Namun jelas saja transaksi ini bukan transaksi jual membeli melainkan sebatas wa’ad (janji). Yang menjadi masalah secara fikih adalah terdapatnya sejumlah duit sebagai kompensasi untuk jalankan janji berikut atau untuk memiliki khiyar (opsi) jual maupun beli.



Transaksi option bisa menjadi lebih rumit. Misalnya A dan B sebabkan kontrak terhadap 1 Januari 2016. Perjanjiannya A menjajakan US$ 1 juta bersama kurs Rp 13.000 per dolar kepada B. Transaksi ini lunas. Pada selagi yang mirip A termasuk mengimbuhkan hak kepada B untuk menjajakan ulang US 1 juta terhadap tanggal atau sebelum 30 juni 2016 bersama kurs Rp 13.500 per dolar. Hal ini bakal gugur bersama sendirinya jikalau kurs melebihi Rp 13.500 per dolar, itu pun jikalau syarat selanjutnya terpenuhi.



Keempat : adalah transaksi swaps (currency swap) yakni perjanjian untuk menggantikan suatu mata duit bersama mata duit lainnya atas basic nilai ganti yang disepakati didalam rangka mengantisipasi risiko pergerakan nilai ganti terhadap jaman mendatang. 



Singkatnya, transaksi swap merupakan transaksi pembelian dan penjualan secara seiring sejumlah tertentu mata duit bersama dua tanggal penyerahan yang berbeda. 



Pembelian dan penjualan mata duit berikut ditunaikan oleh bank yang mirip dan umumnya bersama langkah “spot terhadap forward” Artinya satu bank membeli tunai (spot) selagi mitranya membeli secara berjangka (forwad) . 



Salah satu perumpamaan transaksi swaps adalah jikalau bank A dan bank B sebabkan kontrak untuk bertukar deposito rupiah terhadap dolar terhadap kurs Rp 13.500 per dolar terhadap 1 Januari 2016. B menempatkan US$ 1 juta. A menempatkan Rp 13,5 miliar, terlepas dari kurs pasar selagi itu. 



Ulama kontemporer termasuk menampik transaksi ini sebab ke dua trasaksi itu mengenai (adanya semacam ta’alluq) dan merupakan satu kesatuan sebagaimana difatwakan oleh Dewan Syariah Nasional-MUI. Sebab, jikalau yang satu dipisahkan dari yang lain, maka namanya bukan ulang transaksi swaps didalam pengertian konvensional.



Adapun pendapat yang membolehkan transaksi swaps secara umum dianut perbankan Islam di Malaysia bahkan menurut mereka kebolehannya diakui udah demikianlah jelas supaya tidak dibutuhkan ulang fatwa bersama alasannya bahwa jikalau spot boleh ditunaikan dan futures (sebagian suatu janji) termasuk boleh, maka pastinya swaps pun boleh dilakukan. 



Namun paling tidak, tetap tersedia dua perihal yang bisa dipertanyakan didalam praktik ini yaitu; Pertama, bagaimana bersama keberatan selagi ulama bakal terdapatnya kompensasi duit untuk transaksi futures yang dibayarkan kepada konterpartinya. Kedua transaksi spot dan futures didalam transaksi swaps itu haruslah mengenai satu mirip lain. 



Kontra argumen dari alasan ke dua ini adalah dua transaksi bisa saja disyaratkan terkait, selama syaratnya adalah syarat shahih lazim. Bukan hanya swaps yang dibolehkan, dinegara jiran ini termasuk dikembangkan Islamic Futures Contract. 



 Terlepas dari argumen mana yang lebih kuat dalilnya, adalah kewajiban kita disamping mencari sisi kehati-hatian dan kepatuhan syariah, termasuk untuk tetap mencari solusi inovasi transaksi yang islami sebagai keperluan dunia usaha bakal transaksi dan peranti keuangan (financial instruments) yang konsisten berkembang.



Kelima : praktik oversold yakni jalankan penjualan melebihi kuantitas yang dimiliki maupun dibeli, sebab ulama melarang penjualan suatu hal yang tidak dimiliki sebagaimana pesan hadits “Janganlah engkau menjajakan suatu hal yang tidak engkau kuasai/miliki” (la tabi’ ma laisa ‘indaka).



Adapun style transaksi forward terhadap perdagangan valas yang kerap disebut transaksi berjangka terhadap prinsipnya adalah transaksi sejumlah mata duit tertentu bersama sejumlah mata duit tertentu lainnya bersama penyerahan terhadap selagi yang bakal datang dan kurs ditetapkan terhadap selagi kontrak dilakukan, tetapi pembayaran dan penyerahan baru ditunaikan terhadap selagi kontrak jatuh tempo. 



Jenis transaksi ini hukum fiqihnya bisa dirumuskan bahwa jikalau transaksi forward valas ditunaikan didalam rangka keperluan yang mendesak (hajah) dan terbebas dari unsur maysir (judi), ghoror (uncomplate contract), dan riba serta bukan untuk motif spekulasi layaknya digunakan untuk target hedging (lindung nilai) yakni transaksi yang ditunaikan sebatas untuk mengatasi risiko kerugian akibat terjadinya pergantian kurs yang timbul sebab terdapatnya transaksi  ekspor-impor atau untuk mendukung kegiatan trade finance. Disamping itu, transaksi berjangka inipun hanya ditunaikan bersama pihak-pihak yang bisa dan bisa menanggung penyediaan valuta asing yang dipertukarkan maka jikalau tindakan berikut dikategorikan sebagai sebuah bentuk kesepakatan bersama untuk sama-sama jalankan pertukaran dimasa mendatang bersama kurs (nilai tukar) pasti terhadap selagi kontrak dan transaksinya secara efisien didalam perspektif fiqih tetap berbentuk tunai terhadap selagi jatuh tempo maka perihal itu tidak menjadi masalah selama tidak tersedia ta’alluq dan hanya berbentuk janji (wa’ad) tanpa disertai terdapatnya komitmen kompensasi sebab terkandung maslahat bagi ke dua belah pihak dan tidak tersedia dalil satupun yang melarang perihal itu. Hal ini seiring bersama pendapat Imam Asy-Syafi’i (Al-Umm: III/32) dan Ibnu Hazm (Al-Muhalla:VIII/513)



Ketentuan umum tentang seputar kegiatan transaksi jual-beli valuta asing berdasarkan fatwa Dewan Syariah Nasional Nomor: 28/DSN-MUI/III/2002 tentang Shorf, transaksi jual membeli mata duit terhadap prinsipnya boleh bersama keputusan sebagai berikut:



1.     Tidak untuk spekulasi (untung-untungan)

2.     Ada keperluan transaksi atau untuk berjaga-jaga (simpanan)

3.     Apabila transaksi ditunaikan terhadap mata duit sejenis maka nilainya kudu mirip dan secara tunai (at-taqabudh).

4.     Apabila tidak serupa style maka kudu ditunaikan bersama nilai ganti (kurs) yang berlaku terhadap selagi transaksi ditunaikan dan secara tunai.



Hal itu, disamping atas basic kesepakatan (ijma’) para ulama bahwa akad al-shorf disyari’at-kan bersama beberapa syarat tertentu, keputusan berikut termasuk merujuk kepada dalil-dalil diantaranya sebagai berikut:



1.     Firman Allah, QS. al-Baqarah [2]: 275: "…Dan Allah udah menghalalkan jual membeli dan mengharamkan riba….",

2.     Hadits Nabi riwayat al-Baihaqi dan Ibnu Majah dari Abu Sa’id al-Khudri: Rasulullah SAW bersabda, "Sesungguhnya jual membeli itu hanya boleh ditunaikan atas basic kerelaan (antara ke dua belah pihak)" (HR. al-Baihaqi dan Ibnu Majah, dan dinilai shahih oleh Ibnu Hibban),

3.     Hadits Nabi riwayat Muslim, Abu Daud, Tirmizi, Nasa’i, dan Ibn Majah, bersama teks Muslim dari ‘Ubadah bin Shamit, Nabi s.a.w. bersabda: “(Juallah) emas bersama emas, perak bersama perak, gandum bersama gandum, sya’ir bersama sya’ir, kurma bersama kurma, dan garam bersama garam (dengan syarat harus) mirip dan sejenis serta secara tunai. Jika jenisnya berbeda, juallah sekehendakmu terkecuali ditunaikan secara tunai.”

4.     Hadits Nabi riwayat Muslim, Tirmidzi, Nasa’i, Abu Daud, Ibnu Majah, dan Ahmad, dari Umar bin Khatthab, Nabi s.a.w. bersabda: “(Jual beli) emas bersama perak adalah riba terkecuali (dilakukan) secara tunai.” Hadits Nabi riwayat Muslim dari Abu Sa’id al-Khudri, Nabi s.a.w. bersabda: “Janganlah anda menjajakan emas bersama emas terkecuali mirip (nilainya) dan janganlah mengimbuhkan sebagian atas sebagian yang lain; janganlah menjajakan perak bersama perak terkecuali mirip (nilainya) dan janganlah mengimbuhkan sebagian atas sebagian yang lain; dan janganlah menjajakan emas dan perak berikut yang tidak tunai bersama yang tunai.” Hadits Nabi riwayat Muslim dari Bara’ bin ‘Azib dan Zaid bin Arqam: “Rasulullah saw melarang menjajakan perak bersama emas secara piutang (tidak tunai).”



Adapun keputusan tentang hukum Jenis-jenis Transaksi Valuta Asing, dijelaskan didalam fatwa berikut sebagai berikut:



1.     Transaksi Spot, yakni transaksi pembelian dan pen-jualan valuta asing (valas) untuk penyerahan terhadap selagi itu (over the counter) atau penyelesaiannya paling lambat didalam jangka selagi dua hari. Hukumnya adalah boleh, sebab diakui tunai, sedangkan selagi dua hari diakui sebagai proses penyelesaian yang tidak bisa dihindari (ِمَّما لاَ ُبَّد مِنْهُ) dan merupakan transaksi internasional.

2.     Transaksi Forward, yakni transaksi pembelian dan penjualan valas yang nilainya ditetapkan terhadap selagi sekarang dan diberlakukan untuk selagi yang bakal datang, antara 2 x 24 jam sampai bersama satu tahun. Hukumnya adalah haram, sebab harga yang diguna-kan adalah harga yang diperjanjikan (muwa’adah) dan penyerahannya ditunaikan di sesudah itu hari,  padahal harga terhadap selagi penyerahan berikut belum pasti mirip bersama nilai yang disepakati, terkecuali ditunaikan didalam bentuk forward agreement untuk keperluan yang tidak bisa dihindari (lil hajah).

3.     Transaksi Swap, yakni suatu kontrak pembelian atau penjualan valas bersama harga spot yang dikombinasi-kan bersama pembelian antara penjualan valas yang mirip bersama harga forward. Hukumnya haram, sebab punya kandungan unsur maisir (spekulasi).

4.     Transaksi Option, yakni kontrak untuk memperoleh hak didalam rangka membeli atau hak untuk menjajakan yang tidak kudu ditunaikan atas sejumlah  unit valuta asing terhadap harga dan jangka selagi atau tanggal akhir tertentu. Hukumnya haram, sebab punya kandungan unsur maisir (spekulasi).




Transfer ke Mata Uang Berbeda



Masalah ini bisa kita temukan terhadap sebagian pekerja yang tersedia di luar negeri (TKI/TKW) atau mungkin termasuk para pelajar/mahasiswa. Di antara keluarga mereka di kampung kadang membutuhkan duit supaya mengharuskan duit berikut ditransfer dari luar negeri, atau tersedia masalah yang sebaliknya. 



Karena berlangsung beda mata duit didalam transfer duit tersebut, maka tetap berlaku syarat shorf yang dibahas di atas. 



Tetap dipersyaratkan qobdh atau yadan bi yadin atau tunai. Jika mata duit yang ditransefer ke negara target itu mirip bersama negara asal, maka tersedia dua syarat yang kudu terpenuhi, yakni tunai (qobdh) dan semisal.



Lantas bagaimana bentuk qobdh di sini? Haruskah duit berikut ditukar terutama dahulu ke mata duit lain selanjutnya diterima tunai, sesudah itu baru dikirim? Pilihan ini pasti benar-benar sulit ditunaikan kala mentransfer. Ataukah qobdh bisa bersama langkah lainnya? 



Karena qobdh menurut para ulama dilihat dari ‘urf-nya, yakni dilihat terhadap tiap-tiap barang. Pada jual membeli emas serah terimanya (qobdh) kudu bersama serah menerima fisik, dan perumpamaan lainnya.



Mayoritas ulama beranggap bahwa qobdh di sini bisa berlangsung serah menerima didalam bentuk certified check atau bisa didalam bentuk kertas bukti transfer yang udah dicetak dan diterima. Atau bersama kata lain udah diketahui berapa mata duit yang udah ditukar ke mata duit lain, sesudah tersedia bukti serah menerima layaknya ini, sesudah itu boleh ditransfer.



Bukti fatwa pertama :

Al Lajnah Ad Daimah lil Buhuts Al ‘Ilmiyyah wal Ifta’, komisi fatwa di Kerajaan Saudi Arabia memperoleh pertanyaan, “Apa hukum duit yang ditransfer dari satu mata duit ke mata duit yang lain? Misalnya saya memiliki gaji bersama mata duit Riyal Saudi dan saya mengidamkan mentransfer dari Riyal Sudan. Dan kudu diketahui bahwa mata duit Riyal  Saudi mirip bersama 3 Riyal Sudani. Apakah transaksi semacam ini termasuk riba?”



Jawab para ulama di Lajnah, “Boleh mentransfer mata duit dan diterima bersama mata duit tidak serupa di negara lain meskipun berlangsung beda nilai kala penukaran sebab tidak serupa style mata duit sebagaimana didalam perumpamaan yang udah disebutkan didalam soal. Akan tetapi, syarat yang kudu diperhatikan adalah kudu tersedia qobdh (serah terima) didalam majelis. Jika udah tersedia serah menerima cek atau kertas bukti pengiriman, maka hukumnya layaknya qobdh didalam majelis (Fatwa Al Lajnah Ad Daimah, pertanyaan pertama dari fatwa no. 4721, 13: 449. Fatwa ini ditanda tangani oleh Syaikh ‘Abdul ‘Aziz bin ‘Abdullah bin Baz selaku ketua, Syaikh ‘Abdurrozaq ‘Afifi selaku wakil ketua dan Syaikh ‘Abdullah bin Qu’ud selaku anggota).



Bukti fatwa kedua

Keputusan dari Majma’ Fiqh Al Islami dari Robithoh Al ‘Alam Al Islami kala pertemuan ke-11, keputusan berikut berbunyi:



Setelah penelaahan dan penelitian, majelis ini memutuskan bersama sepakat:



1. Cek bisa menggantikan bentuk serah menerima selama terpenuhi syarat kala berlangsung shorf (penukaran) mata duit kala ditransfer di bermacam bank.

2. Catatan didalam buku bank udah diakui sebagai qobdh kala suatu mata duit ditukar ke mata duit lain, baik duit berikut diserahkan oleh seseorang kepada bank atau disita dari simpanannya di bank. –selesai- (Dinukil dari Fatawa Al Islam Sual wal Jawab no. 111927).



Jika tidak tersedia qobdh layaknya di atas, hanya sebatas yakin dan tidak tersedia bukti transfer atau bukti penukaran uang, maka layaknya ini adalah bentuk transfer duit yang bermasalah.



Bagaimana hukum biaya transfer?



Syaikh Sholeh Al Munajjid hafizhohullah berkata, “Suatu perusahaan atau bank boleh saja menarik biaya transfer sebab biaya di sini termasuk upah dari transaksi ijaroh yakni jual jasa pengiriman duit ke negara lain” (Fatawa Al Islam Sual wal Jawab no. 111927).



Catatan: Walaupun transfer duit tadi membutuhkan selagi sebagian hari untuk sampai ke negara tujuan, selama duit berikut udah tersedia qobdh didalam majelis, maka udah diakui sah. Karena yang paling penting di sini adalah penukaran mata duit berikut (shorf). Ketika udah tersedia bukti transfer atau bukti penukaran duit selagi berada di bank supaya diketahui berapa besaran duit yang dikirim, maka udah sah transfer tersebut.





وَ السَّلاَمُ عَلَيْكُمْ وَرَحْمَةُ اللهِ وَبَرَكَاتُهُ






Komentar

Postingan populer dari blog ini

10 Alasan Kenapa Menjadi Trader Itu Keren

Emas dan Perak Masih Dalam Bias Bearish

Pergerakan Dollar Belum Signifikan